BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 24 Januari 2012

Kita SEMUA BERSALAH !!!

KITA SEMUA BERSALAH!!

ya, kita semua bersalah, Bila kita adalah korban, tapi sekaligus pelaku.
Lihat lah kondisi tempat kita hidup, kota ini. Setiap harinya kita habiskan berjam-jam untuk kemacetan yang telah akut. Dan kita hanya bisa stress. Jalan keluar yang kita pilih hanya mencak-mencak di twitter, facebook, atau malah berselisih satu sama lain berebut kelayakan yang hanya sedikit tersedia dikota ini.
Banjir sudah menjadi tamu rutin Jakarta sejak berabad-abad silam. Anda bisa sebut semua jaman  penamaan kota ini, mulai dari Kalapa, Jayakarta, Batavia, dan Jakarta. Semuanya telah melalui bencana banjir dalam siklus tahunan. Kini ketika kita telah mempunyai pengetahuan yang lebih maju, teknologi yang lebih baik, dan punya organisasi yang namanya PEMERINTAH, tetap saja belum bisa keluar dari masalah itu. Dan mirisnya, kita malah menamakan salah satu daerah dengan “Kampung Apung”. Seolah-olah banjir adalah takdir yang tidak bisa ditolak, dan kita menerima apa adanya. Sebentar lagi mungkin akan muncul Kampung Apung-Kampung Apung lainnya di kota ini.
Itu baru satu cerita. Ada pula cerita lain. Kalau memang sangat menghargai kesehatan, kenapa kita harus menggunakan masker saat bepergian di kota ini. Kenapa kita tidak secara bersama-sama membenahi kebersihan lingkungan. Kurang lebih 6,5 ton kita memproduksi sampah tiap harinya, belum lagi tingkat polusi asap kendaraan. Dari 100% udara yang kita hirup, hampir setengahnya adalah dari emisi lima polutan (PM, SO2, NOx, HC and CO).
Kita SEMUA BERSALAH !!!
Bila kita tidak bisa berbuat apa-apa.
Tingkat reproduksi manusia Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Itu berarti suatu saat sebagian besar dari kita semua akan mewariskan kondisi yang kita ratapi ini kepada generasi selanjutnya. Dan kita akan mendapati generasi berikutnya sebagai generasi yang  lebih “Galau” dari generasi hari ini. Generasi yang hanya bisa meratapi, dan makin terseret dalam semua masalah kota ini.
Dan siklus lingkaran setan masalah di jakarta akan terus berlanjut sampai akhir jaman. Masalah ini tidak akan selesai dengan “parade zikir” di jalan-jalan kota. Kita butuh ikhtiar atau apa pun namanya dalam setiap kepercayaan. Kita harus berbuat sesuatu !
Kita berhak atas kehidupan yang layak dilingkungan kita sendiri, Jakarta. Dari semua masalah yang ada, kita harus sesegera mungkin melakukan sesuatu untuk perubahan yang lebih baik. Kita semua wajib bersuara untuk perubahan yang lebih baik. Kita semua dituntut melakukan sesuatu untuk mewujudkannya. Kita semua harus bersatu untuk itu.
Ini bukan sebuah gerakan untuk mengajak demonstrasi, jauh dari itu semua. Ini adalah gerakan untuk menggalang aksi simpatik terhadap kondisi dilingkungan kita sendiri. Besar harapan kami agar gerakan ini dapat menjadi sebuah gerakan yang mewakili warga Jakarta. Sampai akhirnya seluruh masyarakat Jakarta dan setiap orang yang beraktifitas di Jakarta melakukan gerakan ini secara sadar. Dalam hitungan demokrasi, bukankah suara mayoritas adalah sebuah kemenangan ?!
Gerakan ini adalah gerakan Bendera Hitam Jakarta. Kami meminta setiap orang di Jakarta untuk memasang / memakai bendera kecil hitam, untuk mewakili bahwa “Saya tidak puas dengan kondisi yang ada sekarang ini, saya menuntut Perubahan, dan saya akan melakukan Perubahan”.
Jadi… Mari katakan dengan bendera. Show me your flag !!

Jangan Cuma Jadi Kelas Penggerutu

Apakah anda warga Jakarta sering menggerutu soal buruknya layanan pemerintah? Apakah anda suka memasang status blackberry messenger atau memaki-maki di social media soal macet, banjir, sampah, korupsi dan lain sebagainya? Kami sarankan anda berhenti menggerutu dan memaki. Sebab hanya akan merusak jiwa namun tidak menghasilkan perbaikan apa-apa.
Memaki dan menggerutu adalah bagian dari keseharian kita. Banyak yang merasakan kepuasan saat menjadi bagian dari arus para penggerutu dan pemaki. Sebagian besar pemaki dan penggerutu ini adalah kelas menengah, orang-orang yang memiliki pengetahuan lebih dan masih memiliki waktu untuk mencibir sinis karena sudah lepas dari himpitan ekonomi.
Sayangnya, para penggerutu ini hampir tidak sadar bahwa apa yang dilakukan itu hanya mengotori ruang publik di dunia maya dan ruang kesadaran di otak mereka masing-masing. Protes dengan kata-kata, mulai dari yang paling sopan sampai dengan sumpah-serapah mereka tumpahkan setiap hari. Tapi hanya sampai di sana saja. Mereka akan sembunyi atau menggeleng saat diminta untuk terlibat dalam gerakan perubahan. “Ah, biar orang lain saja. Saya partisipasi dengan doa saja. Pada prinsipnya saya mah setuju-setuju saja asal demi kebaikan”.
Para penggerutu ini adalah kelas sosial yang tidak bertanggung jawab. Mereka lahir dari kelas menengah yang seharusnya menjadi penggerak sebuah perubahan sosial, namun di sini menjadi kelas penakut, yang hanya berani menggerutu di dunia maya, itu pun sebagian dengan nama samaran. Bahkan ada juga yang hanya berani menggerutu di dalam hati. Padahal, perubahan sosial tidak akan lahir melalui gerutuan. Sama saja seperti teriakan pertapa di puncak gunung. Niat hati hendak menggetarkan alam, namun hanya menggetarkan gendang telinganya sendiri, atau paling jauh oleh beberapa gelintir hewan gunung yang sibuk dengan urusan masing-masing. Sisanya hanyut dibawa lari angin gunung.
Sekarang coba tanya, apa yang dilakukan oleh kelas penggerutu ini untuk memperbaiki Jakarta? Apakah mereka terlibat mengorganisir diri untuk menekan pemerintah agar melayani warga dengan baik? Apakah mereka melakukan sesuatu untuk memaksa political leader menghasilkan public policy yang berdasarkan kebutuhan masyarakat?
Kesadaran kelas menengah kita, selain menggerutu, baru sampai pada taraf kerumunan hewan pemamah biak, solidaritas dangkal, dan sama sekali tidak menyadari kekuatan yang sesungguhnya. Ini mirip dengan ratusan kerbau liar yang lari kocar-kacir karena dikejar oleh 5 sampai 10 ekor cheetah saja. Padahal, jika kesadaran itu sedikit saja ditingkatkan tarafnya, mereka tinggal membuat benteng hidup dengan deretan tanduk menjorok ke luar kerumunan sehingga pemangsa bertaring dan bercakar itu tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Ya, memang baru sampai di sana. Kita belum memiliki kesadaran bersama sebagai warga kota. Tidak ada yang paham bahwa warga kota berhak protes dan memaksa pemerintah memenuhi keinginan mereka. Tidak ada yang tahu bahwa kota bisa lumpuh saat warganya marah dan tidak setuju dengan apa yang sedang dilakukan oleh para elit politik. Yang ada hari ini baru kesadaran pribadi-pribadi yang kebetulan memiliki persoalan yang sama, yaitu soal macet, banjir, sampah, dan lain-lain. Itu pula sebabnya pemerintah hari ini cuek. Mereka tahu ada ketidakpuasan, namun tak ada satu pun yang manifes dan teroganisir. Ditekan sedikit saja bisa kocar-kacir.
Apa Yang Harus Kita Lakukan?
Jakarta ini bisa benar jika dipimpin oleh orang yang benar pula. Maksudnya, orang yang benar-benar paham persoalan, benar-benar punya seribu akal untuk memperbaiki kota, benar-benar bisa memimpin, dan benar-benar bisa lepas dari oligarki ekonomi-politik yang selama ini menyandera pembangunan Jakarta.
Untuk mendapatkan pemimpin yang benar, maka masyarakat tidak bisa begitu saja berserah diri kepada partai politik. Undang-undang memang memberi hak kepada partai politik untuk melakukan seleksi dan nominasi calon kepala daerah, tetapi bukan berarti kita pasrahkan seluruh hak itu kepada mereka. Partai politik harusnya hanya menjadi cermin yang memantulkan keinginan masyarakat.
Nah, agar kita punya pemimpin yang benar, dan agar pemerintahan dijalankan dengan benar, maka masyarakat harus terlibat aktif dalam dua hal penting, yaitu proses pencalonan pemimpin, dan proses pemilihan pemimpin. Jika tidak bersedia, lebih baik telan dalam-dalam kenyataan pahit yang akan anda hadapi. Percuma marah-marah dan menggerutu tetapi di saat yang sama tidak mau berbuat sesuatu agar kita memiliki pemimpin yang benar.
Bermula dari soal nominasi calon pemimpin, sebab disinilah persoalan itu berawal. Kita seringkali mengabaikan bahwa proses seleksi dan nominasi calon pemimpin itu menjadi monopoli kekuatan yang bernama partai politik. Dan sangat sering kita mengalami bahwa kepentingan partai politik ternyata berseberangan dengan kepentingan publik yang mereka wakili. Jika ini yang terjadi, di ujung jalan kita cuma menerima pilihan-pilihan yang sudah mereka sediakan.
Ketika pilihan-pilihan itu tidak ada yang sesuai dengan keinginan kita, maka Golput menjadi keniscayaan. Padahal, Golput sejatinya adalah tindakan pengecut dan tidak bertanggungjawab. The silent majority yang tidak ubahnya seperti gajah tidur, raksasa yang tidak menakutkan bagi siapa pun, bahkan bagi seekor pelanduk kecil dan lemah. Dalam, hal ini diam sama sekali tidak berarti emas.
Tidak usah terlalu muluk membayangkan sebuah gerakan sosial yang gegap gempita dan melumpuhkan sebuah kota. Sebenarnya cukup dengan memperlihatkan sebuah protes yang terorganisir, simpel, tetapi juga menyentak. Yang penting pesan itu sampai dan menggoyang tempat duduk para penguasa dan elit politik. Kita cukup memberi tahu mereka, bahwa ketidaksenangan publik bukan lagi sekedar berkecamuk di dalam hati, atau hanya tumpah di dunia maya, namun sudah menjadi protes yang manifes, muncul di dunia nyata.
Kami tidak sedang mengajak anda turun ke jalan dan berdemonstrasi. Bagi kami itu ide kuno yang hanya memperlihatkan kebuntuan berpikir. Kami justru ingin mengajak anda menggunakan simbol protes yang seragam. Sebuah simbol yang menunjukkan bahwa hari ini kita sangat kecewa dengan keadaan Jakarta dan ingin perubahan agar kualitas hidup menjadi lebih baik. Simbol ini juga mewakili keinginan dan ancaman bagi para elit politik, terutama pimpinan partai politik agar tidak main-main dalam menentukan calon pemimpin Jakarta. Ini juga simbol yang menuntut partai politik hanya memberikan kesempatan kepada putera-puteri terbaik mereka untuk memimpin dan membenahi Jakarta.
Kami ingin mengajak anda menggunakan simbol kain hitam sebagai tanda protes sekaligus tuntutan. Tanda yang digunakan secara sukarela oleh warga kota yang sadar dan ingin perubahan, bukan hanya di dalam hati, tetapi berani menyatakannya. Simbol hitam itu bisa berbentuk banyak hal. Beberapa anggota komunitas kami sudah menggunakan bendera hitam di kendaraan mereka, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Sebagian lagi berupa bendera atau pita hitam yang diikat di tas mereka. Simbol hitam itu bisa berbentuk apa pun, meskipun kami menamakan solidaritas warga kota ini dengan nama “Bendera Hitam Jakarta”.
Bendera hitam inilah yang akan menyatukan kita. Dia akan tetap kita kenakan selama partai politik tidak betul-betul serius menyediakan calon pemimpin terbaik. Mata kita semua harus dibuka lebar-lebar, bahwa di luar orang yang selama ini memburu kekuasaan, kita memiliki cukup banyak figur-figur yang memiliki kualifikasi terbaik untuk memimpin Jakarta dengan benar. Orang-orang yang bersih, berintegritas tinggi, dan punya seribu akal membenahi Jakarta.
Protes damai semacam ini tentu tidak akan menimbulkan dampak apa-apa jika hanya diikuti oleh 100 atau 200 orang saja. Bahkan mungkin hanya akan jadi tertawaan. Namun kami yakin, ada ribuan orang yang bersedia untuk tidak berpangku tangan. Kami cuma perlu menyediakan wadah yang universal sehingga bisa diikuti oleh semua orang. Simbol kain/bendera hitam adalah alat terbaik yang bisa menyatukan kesadaran warga Jakarta.
Ini terlihat sangat sepele, tapi percayalah akan mengguncang Jakarta, menggoyang pendirian para elit politik yang selama ini mungkin sudah sangat berjarak dengan masyarakat. Bayangkan saja jika ribuan atau puluhan ribu bendera hitam berseliweran di Jakarta. Mereka akan sadar, di dalam kedamaian dan kewajaran hidup warga sehari-hari, tampak jelas sebuah protes sedang diutarakan. Percayalah bahwa mereka akan paham jika kita semua memasang simbol yang sama. Dan jika sudah dibenturkan dengan bayangan sendiri, yaitu ketakutan akan kehilangan kepercayaan masyarakat, partai politik akan “terpaksa” berbuat sesuai keinginan publik. Mereka akan berikan putera terbaik untuk dipilih sebagai calon pemimpin Jakarta.
Dalam satu atau dua bulan yang akan datang, partai-partai politik akan menentukan orang-orang yang akan mereka usung sebagai calon gubernur Jakarta. Kita akan tetap pasang kain/bendera hitam selama tidak ada itikad baik dari partai politik untuk mengusung orang-orang yang benar. Namun kita akan menggantinya dengan bendera warna warni sebagai tanda suka cita ketika partai politik mengusung calon-calon terbaik untuk Jakarta.
Jadi apa yang akan Anda lakukan? Apakah akan berdiam diri dan menikmati status sebagai kelas penggerutu yang tidak bertanggungjawab, ataukah akan bergabung bersama warga Jakarta menyampaikan protes yang menghentak? Bagi kami pilihannya sudah jelas. Kami akan bertahan dengan simbol kekecewaan itu sampai partai-partai menyediakan calon pemimpin terbaik bagi Jakarta. Berdiam diri dan menggerutu di dunia maya bagi kami adalah tindakan mubazir. Kami juga tidak ingin menjadi makhluk anti-sosial yang hanya berkutat untuk soal-soal yang berbau ego pribadi, kerja dari pagi, pulang sore, dan tiap bulan menerima gaji. Karena kesadaran tanpa perbuatan bagi kami adalah selemah-lemahnya iman.
Sekian dulu yah, nanti kita lanjutkan dengan “Gerakan Tinta Hitam Jakarta”, ini partisipasi tahap kedua yang jauh lebih manifes dan menghentak. Namun ini hanya dilakukan jika partai politik tetap bandel mengusung calon gubernur Jakarta seenak udelnya. Gerakan ini merupakan alternatif dari Golput. Sebab Golput itu sama seperti begadang, karena tiada gunanya .